RANTAI pasok manik-manik di Indonesia masih dikuasai oleh Tiongkok. Harga murah, bentuknya beragam, dan produksi yang terjamin menjadi alasan kuat mengapa negara itu menjadi pilihan utama.
Mentereng di luar negeri, tak dikenal di Indonesia menjadi kata yang pas disematkan untuk produk manik-manik Gudo yang berasal dari Dusun Pojok, Desa Plumbon, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Suloso, 55, pemilik jenama Griya Manik yang bermukim di daerah tersebut mengakui kalau penghasilan mereka lebih tinggi dari hasil ekspor ketimbang penjualan di dalam negeri.
Baca juga: Manfaatkan Gap Year dengan Bisnis Manik-Manik, Manda Raup Cuan di Lokapasar
Prestasi tersebut semestinya diapresiasi dengan inisiatif strategis untuk meningkatkan taraf usaha mereka oleh para stakeholder terkait.
“Yang membedakan Kabupaten Jombang dengan tempat lainnya, yakni buah tangannya yang berupa manik-manik,” tuturnya saat dihubungi Sokoguru, Sabtu (13/4).
Desa Plumbon adalah satu-satunya produsen manik-manik lokal yang sudah berjalan hampir setengah abad. Penduduk di sana sebagian besaar dihidupkan oleh usaha pernak-pernik yang dinamai manik-manik Gudo, diambil dari nama kecamatannya.
Baca juga: Nilai Ekspor Tembus USD547,5 juta, Kinerja Industri Perhiasan Nasional Kian Berkilau
Tradisi puluhan tahun
Hanya di Desa Plumbon limbah kaca disulap jadi manik-manik dengan ragam warna bergaya etnik. Tak hanya itu, bentuk manik pun diadopsi dari yang ditemukan dalam artefak-artefak pada masa kerajaan dulu atau lebih jauh lagi.
“Desa kami tidak akan mengenal manik-manik, kalau tidak ada tiga tokoh yang jadi pengagas usaha ini. Sugiyo (alm.), Riyanto (alm.), dan Karsan adalah tokoh pertama yang memulai kisah manik di Kabupaten Jombang,” imbuh Suloso.
Pada 1978, sambungnya, ketiga tokoh itu pulang kampung setelah lama merantau ke kota Solo. Pulang dengan buah tangan berupa ilmu membuat batu setengah mulia dan tindik dari perak, mereka ingin berbagi keahlian untuk memberdayakan penduduk lainnya.
Sugiyo menjadi salah satu yang sering berinteraksi dengan calon pembeli dan punya kenalan banyak. Salah satunya, Umar, seorang pria dari Martapura, Kalimantan Selatan.
Umar digambarkan Suloso sebagai penyambung lidah produk-produk buatan Sugiyo dan kawan-kawannya kepada konsumen. Saat itu, Umar membuat janji dengan orang Surabaya yang kebetulan tertarik dengan produk yang dibuat ketiga orang itu.
Di sela-sela negosiasi dengan calon konsumen, Umar menunjukan sebuah batu yang memiliki lubang di tengahnya. “Sampean (Anda) kalo bisa bikin ini, sampean bisa kaya raya,” ujarnya.
Diiming-imingi nasib mujur oleh Umar, mereka bertiga merasa tertantang untuk membuat benda tersebut yang katanya merupakan manik-manik di zaman kerajaan.
“Saat itu, pak Sugiyo, pak Riyanto, dan pak Karsan kakak saya langsung mencari cara untuk membuat manik-manik itu. Dalam waktu yang lumayan panjang, mereka pun akhirnya berhasil membuat manik yang dikatakan merupakan manik di zaman dahulu. Mereka kembali menemui pak Umar,” jelasnya.
Dengan perasaan yang sumringah Sugiyo sudah menyangka Umar bakal senang bukan kepalang. Benar saja, ketika Sugiyo menunjukkan hasil kreasinya, Umar bangga dan mengganjar keberhasilan mereka dengan sepeda motor di tahun 80-an.
“Setelah itu, barulah desa kami mulai memproduksi manik-manik. Pada saat produknya dibawa ke Bali, di sana laku keras,” ujarnya lagi.
Tembus dunia
Perkembangan Desa Plumbon sebagai produsen manik-manik semakin dikenal. Kalimantan, Surabaya, dan Bali menjadi pasar utamanya. Sementara jalan menuju pasar dunia terbuka berkat pemasaran di Bali.
Permintaan yang konsisten membuat Desa Plumbon terus meningkatkan produksi dengan disebarkannya pengetahuan tentang cara membuat manik. Alat pemanas mereka buat sendiri dengan melalui berbagai kegagalan, hingga akhirnya usaha manik-manik merebak di desa Plumbon.
“Waktu saya remaja sering diajak-ajak kakak saya, pak Karsan yang kini udah sepuh banget. Dari situ saya juga memproduksi manik-manik,” tambahnya.
Sampai saat ini, di Desa Plumbon terdapat 86 rumah produksi manik-manik. Tak hanya tercipta banyak tempat produksi, mereka pun saling membahu dalam Asosiasi Pengusaha Manik (APMA) menjaga dan melestarikan manik-manik asli Indonesia ini. (Faj/ SG-1)